5 Faktor yang Membuat BI Mengusulkan Redenominasi Rupiah

foto/istimewa

sekilas.co – BANK Indonesia membeberkan alasan pemerintah mengusulkan Rancangan Undang-Undang Perubahan Harga Rupiah (redenominasi). RUU Redenominasi telah masuk ke dalam Program Legislasi Nasional Jangka Menengah Tahun 2025–2029 sebagai RUU inisiatif pemerintah berdasarkan usulan BI.

Kepala Departemen Komunikasi BI, Ramdan Denny Prakoso, menjelaskan bahwa redenominasi merupakan penyederhanaan jumlah digit pada pecahan rupiah tanpa mengurangi daya beli maupun nilai rupiah terhadap barang dan jasa.

Baca juga:

“Hal ini merupakan langkah strategis untuk meningkatkan efisiensi transaksi, memperkuat kredibilitas rupiah, serta mendukung modernisasi sistem pembayaran nasional,” kata Denny dalam keterangan tertulis, Senin, 10 November 2025.

Menurut Denny, implementasi redenominasi akan tetap memperhatikan waktu yang tepat dengan mempertimbangkan stabilitas politik, ekonomi, dan sosial, serta kesiapan teknis, termasuk aspek hukum, logistik, dan teknologi informasi. Dia menambahkan, BI akan tetap fokus menjaga stabilitas nilai rupiah sekaligus mendukung pertumbuhan ekonomi selama proses redenominasi berlangsung.

Denny menegaskan, proses redenominasi direncanakan secara matang dan melibatkan koordinasi erat dengan seluruh pemangku kepentingan. “Selanjutnya, Bank Indonesia bersama pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat akan terus melakukan pembahasan mengenai proses redenominasi,” ujarnya.

Rencana redenominasi tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70 Tahun 2025 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan Tahun 2025–2029. PMK tersebut resmi diundangkan pada 3 November 2025 dan ditandatangani oleh Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa. “RUU tentang Perubahan Harga Rupiah (Redenominasi) merupakan RUU luncuran yang rencananya akan diselesaikan pada tahun 2027,” demikian dikutip dari dokumen PMK, Jumat, 7 November 2025.

Ekonom Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, berpendapat bahwa narasi redenominasi yang diklaim mempermudah pencatatan dan pembukuan tidak disertai bukti empiris yang menunjukkan perubahan nominal bakal meningkatkan investasi atau mendorong pertumbuhan ekonomi. Menurut dia, keuntungan yang dijanjikan lebih bersifat psikologis dan simbolik.

Lebih lanjut, Syafruddin menilai transisi redenominasi bisa menimbulkan beberapa risiko. “Selama masa transisi, akan terjadi duplikasi mata uang lama dan baru yang berjalan berdampingan. Hal ini menimbulkan potensi kekacauan administratif, keraguan konsumen, bahkan peluang kecurangan,” ujarnya dalam keterangan tertulis pada Ahad, 9 November 2025.

Artikel Terkait