Sekilas.co – Pelaku industri aset kripto menilai kebijakan baru mengenai integrasi sistem identitas digital dan pengawasan transaksi tidak akan memberikan dampak signifikan terhadap operasional bursa kripto di Indonesia. Sebaliknya, sektor e-money dan perbankan dipandang lebih berpotensi terdampak karena belum sepenuhnya terhubung dengan sistem pengawasan regulator.
Seperti diketahui, Direktorat Jenderal Pajak akan menerapkan pertukaran data kripto dan dompet digital secara otomatis mulai 2026 guna meningkatkan pengawasan pajak serta memenuhi standar keanggotaan Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD).
Founder dan CEO Triv, Gabriel Rey, menjelaskan bahwa bursa kripto di Indonesia saat ini telah terhubung secara real-time dengan Ditjen Pajak sehingga seluruh aktivitas transaksi dapat dipantau langsung oleh regulator.
“Untuk kebijakan baru, saya rasa tidak ada masalah bagi industri kripto karena kami sudah terintegrasi dengan data Ditjen Pajak. Dampaknya justru lebih besar bagi e-money dan perbankan yang belum terkoneksi,” ujarnya kepada Bisnis, Jumat (21/11/2025).
Terkait rencana penerapan Central Bank Digital Currency (CBDC), Gabriel menilai instrumen tersebut justru memperkuat kemampuan pemerintah dalam memonitor arus dana secara lebih ketat.
“Pelanggaran pajak lewat CBDC sangat tidak mungkin karena sifatnya centralized blockchain. Dana bisa dipantau dan dibekukan kapan saja,” katanya.
Ia menambahkan bahwa regulator telah memiliki perangkat analisis blockchain yang kuat sehingga risiko penyalahgunaan akan semakin kecil setelah CBDC diterapkan. Kendati kebijakan baru dinilai tidak mengganggu industri, pelaku usaha kembali menyuarakan harapan agar tarif pajak transaksi kripto disesuaikan. Saat ini, tarif pajak sebesar 0,21% dianggap kurang kompetitif.
“Idealnya 0,11% agar bisa bersaing dengan exchange global dan mencegah dana investor lari ke luar negeri,” ujarnya. Ia menegaskan bahwa biaya transaksi adalah faktor penting bagi investor dalam memilih platform perdagangan.
Senada dengan itu, COO Upbit Indonesia, Resna Raniadi, menilai langkah pemerintah memperkuat pertukaran data keuangan merupakan upaya meningkatkan transparansi dan integritas ekosistem keuangan nasional.
“Upbit Indonesia menyambut baik rencana pemerintah ini. Regulasi yang lebih ketat justru akan menyaring praktik tidak bertanggung jawab dan mendorong standar operasional yang lebih tinggi di pasar,” ujarnya.
Resna menilai regulasi baru dapat menjadi peluang jangka panjang karena Upbit telah memiliki infrastruktur kepatuhan dan keamanan yang memadai.
“Untuk pemain yang serius dan compliant, aturan seperti ini adalah akselerator bisnis,” katanya.
Meski potensi penyalahgunaan pajak pada instrumen digital tetap ada, baik e-money, CBDC, maupun aset kripto, Upbit menilai risiko tersebut dapat ditekan melalui pengawasan ketat. Resna menekankan bahwa di ekosistem kripto berizin, pemantauan transaksi hingga pelaporan sudah menjadi prosedur standar.
“Upbit Indonesia menerapkan KYC, pemantauan transaksi, serta standar kepatuhan berbasis praktik internasional. Dengan pertukaran data yang lebih terintegrasi, risiko pelanggaran pajak bisa makin diminimalkan,” ujarnya.
Upbit juga memberikan rekomendasi kepada Kementerian Keuangan bahwa standar pertukaran data harus komprehensif dengan penegakan yang konsisten terhadap pelaku tidak patuh. Penyedia layanan ilegal dinilai harus ditindak tegas agar tidak merugikan pelaku usaha yang taat regulasi.
“Upbit siap berkolaborasi agar regulasi ini dapat diterapkan secara cepat, aman, dan efektif untuk memperkuat penerimaan pajak negara,” tambahnya.
Sementara itu, analis Reku, Fahmi Almuttaqin, menilai inisiatif pemerintah ini sebagai langkah positif yang perlu didukung dan diawasi bersama. Ia menilai regulasi yang mampu menekan penyalahgunaan namun tetap melindungi konsumen, termasuk privasi, akan menjadi faktor penting bagi pertumbuhan industri ke depan.
“Ini akan menjadi hal yang perlu diperhatikan ke depan,” ujarnya.
Fahmi juga melihat bahwa regulasi perpajakan kripto saat ini sudah cukup baik karena disusun dengan mempertimbangkan kondisi operasional di lapangan. Dengan transparansi tinggi yang dimiliki teknologi blockchain, ia menilai risiko pelanggaran relatif minim.





