AFPI Tekankan Pentingnya Batas Suku Bunga Pinjol bagi KonsumenAFPI Tekankan Pentingnya Batas Suku Bunga Pinjol bagi Konsumen

foto/istimewa

Sekilas.co – Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menegaskan bahwa penetapan batas maksimum manfaat ekonomi harian atau suku bunga pinjaman dilakukan sebagai upaya melindungi konsumen dari praktik pinjol ilegal yang kerap merugikan masyarakat.

AFPI bersama 97 platform pinjaman daring (pindar) membantah tuduhan adanya praktik kartel suku bunga melalui kesepakatan penetapan batas tersebut, sebagaimana disampaikan dalam sidang Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).

Baca juga:

“Tuduhan itu tidak tepat karena pengaturan batas maksimum bunga ditujukan semata-mata untuk melindungi konsumen dari praktik predatory lending oleh pinjol ilegal,” ujar Ketua Umum AFPI Entjik S. Djafar dalam keterangannya di Jakarta, Senin.

Ia menambahkan, ketentuan mengenai batas maksimum itu merupakan arahan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sejak 2018.

“Tidak pernah ada kesepakatan harga, apalagi praktik kartel. Platform dan asosiasi hanya mengikuti arahan regulator,” tegasnya.

Menurut Entjik, pedoman perilaku AFPI yang dijadikan dasar oleh investigator KPPU justru bukan untuk membatasi persaingan, melainkan melindungi konsumen dari penagihan intimidatif serta bunga tinggi yang marak sebelum adanya pembatasan.

“Jadi, sama sekali tidak ada unsur kesepakatan di dalamnya,” katanya menegaskan.

Ia menjelaskan, suku bunga maksimum awalnya ditetapkan 0,8 persen pada 2018 dan diturunkan menjadi 0,4 persen pada 2021. Angka tersebut merupakan ceiling price, bukan fixed price.

“Setiap platform punya independensi dalam menetapkan bunga selama tidak melebihi batas maksimum,” jelasnya.

Praktiknya, tiap platform menerapkan bunga berbeda sesuai dengan sektor dan risiko bisnis masing-masing. Dengan demikian, kompetisi tetap berjalan, menciptakan keseimbangan antara perlindungan konsumen dan keberlanjutan industri.

“Apakah ada pelaku usaha yang berani tidak menjalankan arahan regulator? Pelaku usaha yang tertib seharusnya tidak dituduh melakukan persaingan tidak sehat,” pungkas Entjik.

Artikel Terkait