Benarkah Kasus Udang Terpapar Radioaktif Ada Kaitannya dengan Hubungan Dagang Indonesia–AS

foto/istimewa

sekilas.co – Satuan Tugas Penanganan Kerawanan Bahaya Radiasi Radionuklida Cesium-137 menegaskan bahwa kasus udang impor produksi PT Bahari Makmur Sejahtera (BMS) yang tercemar radioaktif tidak berkaitan dengan hubungan dagang antara Indonesia dan Amerika Serikat (AS).

“Juga bukan menyangkut reputasi kita ataupun hubungan ekonomi antara Indonesia dan Amerika Serikat,” ujar Ketua Bidang Diplomasi dan Komunikasi Satgas Cesium-137, Bara Krishna Hasibuan, di Jakarta, Rabu, 29 Oktober 2025.

Baca juga:

Kasus ini bermula dari temuan Bea Cukai dan Perlindungan Perbatasan Amerika Serikat (CBP) pada Juli 2025, yang mendeteksi adanya kontaminasi zat radioaktif Cesium-137 pada produk udang milik BMS. Akibatnya, kontainer udang yang telah tiba di pelabuhan Amerika Serikat dikembalikan ke Indonesia oleh otoritas setempat.

Bara menjelaskan bahwa kandungan kontaminasi radioaktif pada produk udang milik PT Bahari Makmur Sejahtera (BMS) tercatat sebesar 68,48 Bq per kilogram. Dengan demikian, Bara menegaskan bahwa tingkat radioaktif yang terkandung dalam produk udang tersebut masih jauh di bawah ambang batas kontaminasi yang ditetapkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (FDA) Amerika Serikat), yakni 1.200 Bq per kilogram.

Bara menjelaskan bahwa kandungan kontaminasi radioaktif pada produk udang milik PT Bahari Makmur Sejahtera (BMS) tercatat sebesar 68,48 Bq per kilogram. Dengan demikian, Bara menegaskan bahwa tingkat radioaktif yang terkandung dalam produk udang tersebut masih jauh di bawah ambang batas kontaminasi yang ditetapkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (FDA) Amerika Serikat), yaitu sebesar 1.200 Bq per kilogram.

Meskipun masih jauh dari ambang batas, Bara menyatakan bahwa pemerintah Indonesia menganggap temuan radioaktif sebagai masalah serius karena menyangkut kesehatan dan keselamatan masyarakat.
“Kita hanya menunjukkan kepada dunia luar bahwa kami mampu untuk mengatasi ini secara cepat dan efektif,” tutur dia.

Imbas dari kasus ini, pemerintah Indonesia menyatakan bahwa Amerika Serikat mewajibkan sertifikat bebas radioaktif terhadap udang dan cengkeh yang diimpor dari wilayah Indonesia yang ditandai sebagai daftar kuning atau yellow list, yakni Jawa dan Lampung.
“Amerika Serikat tetap terbuka bagi udang dan cengkeh dari Indonesia asal memenuhi ketentuan tersebut,” kata Bara.

Adapun persyaratan sertifikat tersebut merupakan peringatan impor atau import alert #99-52 yang diumumkan oleh FDA. Bara mengatakan sertifikat bebas radioaktif diterbitkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) selaku otoritas yang telah disepakati FDA.

Ia memastikan bahwa skema pengujian dan sertifikasi dapat memberikan jaminan produk cengkeh dan udang Indonesia bebas kontaminasi Cesium-137. Ia juga menambahkan bahwa industri sepakat untuk memenuhi persyaratan yang berlaku dengan harapan ekspor Indonesia ke Amerika Serikat dapat kembali normal.

Sementara itu, Kepala Badan Pengendalian dan Pengawasan Mutu Hasil Kelautan dan Perikanan KKP, Ishartini, mengatakan akan menggunakan sertifikasi yang sudah ada, yaitu Sertifikasi Mutu Hasil Perikanan (SMHKP).
“Kami hanya menambahkan penjelasan di dalam sertifikasi itu berupa bebas radioaktif,” kata Ishartini.

Ishartini menjelaskan bahwa setiap unit pelaksana teknis (UPT) yang mengeluarkan sertifikat harus memastikan para eksportir telah melampirkan data hasil uji laboratorium milik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Ia menegaskan bahwa biaya sertifikasi tidak dipungut biaya, namun pelaku usaha dapat menanggung beban biaya uji laboratorium.

Selain memberikan daftar kuning terhadap dua wilayah Indonesia, Amerika Serikat juga menetapkan daftar merah atau red list untuk perusahaan produsen udang dan cengkeh dalam negeri. Daftar merah diberikan kepada perusahaan dengan produk yang terbukti terpapar Cesium-137.

Dua perusahaan Indonesia yang masuk ke dalam daftar merah adalah PT BMS dan PT NJS.
Kedua perusahaan tersebut dapat keluar dari daftar merah dan kembali melakukan ekspor ke Amerika Serikat asalkan telah mengantongi sertifikasi dari pihak ketiga yang diakreditasi oleh FDA.
Namun hingga saat ini, pemerintah belum menentukan organisasi independen non-pemerintahan yang akan memberikan sertifikasi tersebut.

Artikel Terkait