CEO Goldman Sachs Ramalkan Pasar Saham Bakal Melemah dalam 12–24 Bulan karena Euforia AI

foto/istimewa

Sekilas.co – Pasar saham global diperkirakan akan menghadapi fase koreksi signifikan dalam kurun waktu 12 hingga 24 bulan mendatang setelah sebelumnya melonjak tajam berkat euforia kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI). Prediksi ini disampaikan langsung oleh Chief Executive Officer (CEO) Goldman Sachs, David Solomon, dalam ajang Italian Tech Week yang digelar di Turin, Italia, pada Jumat (3/10/2025), sebagaimana dilaporkan CNBC.

Menurut Solomon, fenomena ini bukanlah hal baru dalam sejarah pasar keuangan. Ia menekankan bahwa pasar bergerak dalam siklus yang berulang, terutama ketika ada akselerasi teknologi besar yang memicu pembentukan modal dalam skala masif. “Pasar bergerak dalam siklus, dan setiap kali kita secara historis mengalami percepatan signifikan dalam teknologi baru yang menciptakan banyak pembentukan modal, dan karenanya banyak perusahaan baru yang menarik di sekitarnya, kita umumnya melihat pasar bergerak lebih cepat dari potensi yang sebenarnya. Pada akhirnya akan selalu ada pemenang dan pecundang,” jelas Solomon.

Baca juga:

Ia mengingatkan pada periode akhir 1990-an hingga awal 2000-an ketika internet sedang memasuki fase ledakan awal. Dari era itu lahir sejumlah perusahaan besar yang hingga kini bertahan, namun di sisi lain banyak investor juga menderita kerugian akibat pecahnya gelembung yang dikenal sebagai dotcom bubble. “Saya tidak akan terkejut jika dalam 12 hingga 24 bulan ke depan kita melihat penurunan di pasar ekuitas. Akan ada banyak modal yang diinvestasikan yang ternyata tidak menghasilkan imbal hasil sesuai harapan, dan saat itu terjadi, orang-orang tidak akan merasa baik,” lanjutnya.

Gelombang minat terhadap AI belakangan memang telah mengubah peta pasar global secara drastis. Teknologi baru, kesepakatan investasi bernilai miliaran dolar, serta pesatnya pertumbuhan perusahaan-perusahaan berbasis AI, termasuk OpenAI selaku pengembang ChatGPT, mendorong investor global untuk menanamkan modal besar pada saham-saham teknologi seperti Microsoft, Alphabet, Palantir, hingga Nvidia.

Antusiasme tersebut membuat indeks saham di Wall Street maupun bursa internasional mencatatkan rekor tertinggi sepanjang sejarah, meskipun sempat tertekan akibat kebijakan perdagangan yang dikeluarkan Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada awal tahun ini. Namun, di tengah optimisme yang menggebu, kekhawatiran mengenai potensi terbentuknya gelembung pasar juga semakin mencuat.

Meski begitu, Solomon enggan secara gamblang menyebut kondisi ini sebagai “gelembung.” Ia menekankan bahwa saat investor berada dalam euforia, mereka cenderung hanya memikirkan sisi positif dari peluang yang ada dan mengabaikan potensi risiko. “Saya tidak akan menggunakan kata ‘gelembung’, karena saya tidak tahu bagaimana jalannya. Tetapi saya tahu orang-orang saat ini berada pada kurva risiko yang tinggi karena mereka sangat antusias,” ujarnya.

Ia kemudian menambahkan, “Ketika investor antusias, mereka cenderung memikirkan hal-hal baik yang bisa berjalan lancar, dan melupakan hal-hal yang bisa saja salah. Akan ada penyesuaian, akan ada pemeriksaan pada suatu saat, dan akan ada penurunan. Tingkatannya akan bergantung pada seberapa lama tren bullish ini mampu bertahan.”

Artikel Terkait