Saham Konglomerat Prajogo Pangestu hingga Bakrie Mana yang Masih Prospektif di 2026?

foto/istimewa

Sekilas.co – Reli luar biasa sahamsaham milik kelompok konglomerasi menjadi fenomena dominan sepanjang 2025. Sejumlah emiten mencatat lonjakan harga yang tidak biasa, bahkan mencapai ratusan hingga ribuan persen dalam setahun, sehingga banyak di antaranya kini dikategorikan sebagai saham premium dengan valuasi sangat tinggi.

Namun memasuki tahun 2026, dinamika pasar mulai bergeser. Investor dan pelaku pasar disebut mulai lebih selektif dengan menaruh perhatian pada ketahanan fundamental masing-masing emiten, seiring memudarnya momentum kenaikan harga pada sebagian saham yang sebelumnya melesat agresif.

Baca juga:

Data Bursa Efek Indonesia (BEI) menunjukkan daftar top leaders sepanjang 2025 didominasi oleh sahamsaham berkapitalisasi besar yang terafiliasi dengan konglomerat ternama. Di antaranya adalah CUAN dan BRPT yang berada di bawah kendali Prajogo Pangestu, DSSA milik Grup Sinar Mas, DCII yang terafiliasi dengan Otto Toto Sugiri, serta BRMS dan BUMI yang masuk dalam jaringan Grup Bakrie.

Kendati demikian, para analis menilai reli super-tinggi tersebut tidak dapat digeneralisasi akan berlanjut ke tahun depan, karena karakter penggerak kenaikan harga masing-masing saham sangat berbeda.

Head of Research KISI Sekuritas, Muhammad Wafi, menilai bahwa hanya sebagian kecil saham premium yang berpeluang mempertahankan performa positif hingga 2026. Sahamsaham tersebut umumnya ditopang oleh ekspansi bisnis yang jelas, pertumbuhan laba per saham (EPS), atau katalis fundamental yang berkelanjutan. Sebaliknya, saham yang reli harganya lebih banyak digerakkan oleh limpahan likuiditas pasar tanpa dukungan katalis baru dinilai berada dalam fase yang rentan.

“Mulai habis momentumnya, contohnya seperti DCII, MORA, dan emiten-emiten yang naik tanpa katalis baru atau valuasinya sudah terlalu stretched. Biasanya saham seperti ini mulai masuk fase distribusi dengan volatilitas yang tinggi,” ujar Wafi kepada Bisnis, Jumat (12/12/2025).

Di sisi lain, Wafi masih melihat adanya ruang momentum pada sejumlah saham, khususnya dari Grup Bakrie, seperti BUMI dan emiten afiliasinya. Momentum tersebut terutama ditopang oleh euforia pasar terhadap narasi akuisisi mineral dan rotasi sektor komoditas, meskipun menurutnya faktor fundamental belum sepenuhnya tercermin dalam kinerja keuangan perusahaan.

Kinerja sahamsaham Grup Bakrie dalam satu bulan terakhir memang menunjukkan reli yang signifikan. Saham BUMI tercatat melonjak 85,86% dalam sebulan dan menguat 211,86% secara year to date (YtD). BRMS naik 23,62% dalam sebulan dengan kenaikan YtD mencapai 255,49%. Sementara itu, ENRG melesat 70,21% dalam sebulan dan mencatatkan lonjakan 595,65% YtD, sedangkan DEWA naik 35,65% dalam sebulan dengan penguatan 445,05% YtD.

Adapun pada sahamsaham top leaders lainnya, MORA tercatat terkoreksi 5,23% pada perdagangan hari ini, meski secara YtD masih menguat sangat tajam hingga 2.309,57%. Sementara DCII bergerak relatif terbatas di tengah valuasi yang sudah berada pada level ultra-tinggi, dengan kenaikan YtD sebesar 481,47%.

“DCII dan MORA valuasinya sudah sangat premium, jadi lebih cocok untuk tactical trade. Untuk BUMI, momentumnya masih ada, tapi valuasinya juga sudah tidak murah karena PBV-nya di atas dua kali,” ujar Wafi.

Sementara itu, sahamsaham afiliasi Prajogo Pangestu juga masih mencatatkan kinerja impresif secara tahunan. BRPT masih membukukan pertumbuhan tiga digit secara YtD, sedangkan CUAN cenderung stagnan dalam perdagangan harian, namun tetap menguat 127,93% sepanjang tahun berjalan. Meski demikian, Wafi mengingatkan bahwa reli ekstrem yang terjadi sepanjang 2025 tidak ideal dijadikan dasar strategi investasi jangka panjang.

“Sebagian besar kenaikannya terjadi karena faktor likuiditas, bukan karena daya tahan laba. Risiko volatilitas dan pembalikan arah juga tinggi. Saham yang naik terlalu cepat biasanya akan bergerak sideways cukup lama atau bahkan terkoreksi 30 hingga 60 persen,” jelasnya.

Pandangan senada disampaikan Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas, Maximilianus Nico Demus. Ia menilai keberlanjutan kenaikan sahamsaham premium pada akhirnya sangat bergantung pada ekspektasi pasar. Dalam kondisi tertentu, narasi dan sentimen masih dapat mendorong harga saham bergerak lebih tinggi, bahkan ketika valuasi sudah berada di level mahal.

“Kalau misalnya kita mengatakan saham X akan downtrend tahun depan, lalu tiba-tiba emiten tersebut mengumumkan proyek senilai Rp100 triliun, maka meskipun valuasinya sudah tinggi, harga sahamnya bisa naik lebih tinggi lagi. Karena pergerakan harga saham sangat ditopang oleh narasi dan ekspektasi,” ujarnya.

Dari sisi valuasi, hampir seluruh saham yang masuk jajaran top leaders kini berada di zona ultra-premium. Rasio price to earnings (PE) DCII tercatat mencapai 530,50 kali, MORA bahkan menyentuh 850,89 kali, sementara CUAN berada di level 805,14 kali. Bahkan sahamsaham yang masih dianggap memiliki momentum seperti BUMI dan BRMS pun masing-masing mencatatkan PE di atas 210 kali.

Dengan kondisi tersebut, Nico menilai ruang investasi berbasis valuasi menjadi sangat terbatas. “Kalau melihat situasi saat ini, rasanya belum ada yang benar-benar menarik dari sisi valuasi. Namun untuk target jangka pendek tanpa terlalu mempertimbangkan rasio dan fundamental, BUMI masih berpeluang melanjutkan kenaikan,” pungkasnya.

Artikel Terkait