sekilas.co – Kemasan berwarna-warni menghiasi salah satu stan dalam acara promosi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) Kota Batam, yang sarat semangat wirausaha dari Provinsi Kepulauan Riau.
Di salah satu kemasan bertuliskan “Tamban Menari” dengan nuansa biru dan desain khas Melayu. Dewi, pelaku usaha kuliner olahan laut, menjadi pionir produk berbahan dasar ikan tamban, ikan kecil khas perairan Kepri yang kaya protein, kalsium, dan omega-3.
Di tangannya, ikan tamban yang biasanya dijadikan ikan asin biasa, kini diolah menjadi camilan khas dengan cita rasa modern dan nilai ekonomi lebih tinggi.
Di Batam, katanya, ukurannya kecil, sedangkan di Kabupaten Natuna dan Anambas bisa sebesar sarden. Ikan berprotein tinggi ini diolah dengan bumbu khas dan dikemas rapi dalam aluminium foil, siap menjadi oleh-oleh khas Batam.
Dewi memanfaatkan bahan baku dari nelayan di pulau-pulau kecil sekitar Jembatan Barelang dan Setokok.
Selain memperkuat rantai pasok lokal, usahanya juga memberi manfaat sosial. Dari setiap bungkus produk yang terjual, sebagian hasil penjualan disumbangkan untuk anak–anak pulau agar bisa terus bersekolah.
“Saya ingin usaha ini bukan hanya untuk saya sendiri, tapi juga membantu sesama,” ujarnya.
Kepulauan Riau merupakan wilayah yang hidup dari laut dan menyimpan potensi besar, kini mulai dilihat bukan hanya sebagai sumber pangan, tetapi juga sebagai masa depan ekonomi biru yang berkelanjutan.
Di antara para pelaku yang berperan dalam rantai ekonomi ini, pemerintah dan UMKM menjadi dua sisi mata rantai yang saling menguatkan.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kepulauan Riau (DKP Kepri), Said Sudrajad, menggambarkan wilayah itu sebagai kawasan yang diberkahi kekayaan laut melimpah.
Dalam peta nasional, Kepri termasuk dalam Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 711, dengan potensi perikanan mencapai 1,3 juta ton per tahun. Dari jumlah tersebut, hanya sekitar 900 ribu ton yang dapat dieksploitasi secara berkelanjutan tanpa merusak ekosistem.
Dari potensi itu, Kepri rata-rata memproduksi sekitar 339 ribu ton ikan per tahun, ditambah 39 ribu ton dari sektor budi daya.
Kini, hasil tangkapan nelayan diolah menjadi produk bernilai tambah tinggi, mulai dari ikan kering bumbu, rendang ikan tongkol, keripik gonggong, hingga sambal udang khas Kepri, yang kini merambah rak toko oleh-oleh, pasar digital, hingga ekspor ke luar negeri.
Perubahan pola ini menandakan adanya pergeseran di sektor kelautan, dari eksploitasi sumber daya menuju pengelolaan berkelanjutan dengan nilai tambah ekonomi.
Data DKP Kepri mencatat lebih dari 45 ribu pelaku usaha di sektor ini. Jika dihitung bersama keluarga dan pekerja pendukung, jumlahnya mencapai lebih dari 300 ribu orang yang menggantungkan hidup pada laut.
Angka ini menunjukkan bahwa meskipun kontribusi sektor perikanan terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kepri belum sebesar sektor penopang lain, seperti manufaktur, dampak sosial dan keterlibatan masyarakatnya jauh lebih luas.
Pemerintah daerah menyadari bahwa menjaga sektor ini berarti menjaga keberlanjutan hidup sebagian besar masyarakat Kepri. Karena itu, selain fokus pada pengelolaan sumber daya, pemerintah juga menaruh perhatian besar pada peningkatan kapasitas pelaku usaha.
Program pelatihan, fasilitas pameran, hingga pendampingan branding menjadi bagian dari strategi besar agar UMKM perikanan dapat naik kelas.
Pemerintah daerah, melalui berbagai dinas, dengan dukungan Bank Indonesia Kepri, terus mendorong agar potensi laut ini tidak hanya diproduksi mentah, tetapi melalui proses hilirisasi.
Dewi menyatakan bahwa ia telah mendapat berbagai dukungan pelatihan dari instansi pemerintahan, untuk menambah ilmu terkait pemasaran, ketahanan pangan, serta pengolahan sesuai standar keamanan, mutu, dan gizi.
Pelatihan, pameran, hingga business matching lintas negara dilakukan untuk membantu pelaku usaha lokal menembus pasar lebih luas.
Usaha yang dibangunnya sejak akhir 2020 kini dapat ditemui di berbagai toko oleh-oleh dan supermarket di Batam.
Dalam sebulan, produksi rata-rata mencapai hampir 1.000 bungkus, dengan tiga karyawan yang semuanya warga lokal, serta bekerja sama dengan petani pesisir untuk memancing, memanen, dan mengeringkan ikan tamban sebelum diproses lebih lanjut.
Di musim hujan, stok ikan kering menjadi tantangan tersendiri, sehingga mereka menyiapkan pasukan lebih banyak saat musim panas.
Kisah Dewi dan banyak pelaku UMKM lainnya menunjukkan bagaimana laut Kepri bukan hanya tempat nelayan mencari nafkah, tetapi juga lahan kreasi ekonomi baru yang memanfaatkan kekayaan laut yang masih belum tergarap.
Dalam ajang UMKM yang digelar di Batam, kolaborasi tersebut tampak nyata. Produk-produk olahan laut, termasuk Tamban Menari, dipamerkan berdampingan dengan produk kriya dan kuliner lainnya.
Dewi menambahkan bahwa usahanya telah diundang dan ditampilkan dalam berbagai ajang promosi UMKM, seperti Gebyar Melayu Pesisir (GMP) dan Trade Expo Indonesia (TEI) di Jakarta. Ajang tersebut bukan sekadar pameran, tetapi wadah mempertemukan pelaku usaha dengan mitra potensial, pembeli besar, hingga lembaga keuangan.
Dalam kegiatan business matching yang difasilitasi BI Kepri, Dewi dan produknya dipertemukan dengan investor serta reseller yang membawa produknya ke pasar Singapura dan Malaysia.
BI Kepri juga mendorong pelaku UMKM menggunakan sistem pembayaran digital, seperti QRIS. Bagi pengusaha seperti Dewi, QRIS mempermudah transaksi, terutama saat pameran, di mana pengunjung sering tidak membawa uang tunai. Transaksi tercatat langsung dan dana masuk otomatis ke rekening.
Dari laut hingga meja makan, dari nelayan di Setokok hingga pengusaha kecil di Batam, rantai ekonomi biru Kepri terus berputar, memperkenalkan kekayaan alam sekaligus memberdayakan masyarakat pesisir.




